Mie Instan Bahayakan Pertumbuhan Jutaan Anak di Asia Tenggara
Kasus malnutrisi karena mie instan banyak terjadi di negara berkembang seperti Filipina, Indonesia, dan Malaysia.
Standar kehidupan yang meningkat justru membuat para orang tua yang bekerja tidak memiliki waktu, uang, dan kesadaran dalam mengurus makanan anak-anak mereka.
Dari ketiga negara tersebut, rata-rata 40 persen balita mengalami kekurangan gizi.
Berdasarkan data UNICEF, jumlah ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan secara global, yakni satu dari tiga orang.
Pakar kesehatan masyarakat di Indonesia, Hasbullah Thabrany menyatakan orang tua percaya bahwa mengisi perut anak-anak mereka adalah yang terpenting, tanpa memperhatikan asupan protein, kalsium, dan serat.
UNICEF menyebut bahwa kasus ini terjadi karena adanya masalah di masa lalu dan prediksi kemiskinan yang berpotensi terjadi di masa depan.
Sementara kekurangan zat besi dapat menghambat anak untuk belajar dan juga bisa meningkatkan risiko kematian ibu selama hamil atau setelah melahirkan.
Berdasarkan data UNICEF tahun lalu, 24,4 juta balita Indonesia, 11 juta balita Filipina, dan 2,6 juta balita Malaysia mengalami kekurangan gizi.
Pakar nutrisi Asia UNICEF, Mueni Mutunga menelusuri kembali tren keluarga yang meninggalkan makanan tradisional dan kemudian mengkonsumsi makanan modern karena dianggap lebih terjangkau dan mudah disajikan.
Meski harga mie murah, makanan ini mengandung kadar nutrisi yang rendah, serta lemak dan garam yang tinggi.
Menurut World Instant Noodles Association, Indonesia adalah konsumen mie instan terbesar kedua di dunia.
Sedangkan peringkat satu diisi oleh China dengan konsumsi 12,5 miliar mie instan pada tahun 2018.
UNICEF melaporkan, pasokan makanan dari buah-buahan, sayuran, telur, susu, ikan, dan daging yang kaya nutrisi menghilang dari pola makan ketika penduduk desa pindah ke daerah perkotaan untuk mencari pekerjaan.
Meskipun Filipina, Indonesia, dan Malaysia dianggap sebagai negara berpenghasilan menengah berdasarkan ukuran Bank Dunia, puluhan juta rakyatnya berjuang untuk menghasilkan cukup uang untuk hidup.
Ahli kesehatan Malaysia, T. Jayabalan menyebut kemiskinan adalah masalah utama.
Selain mie instan, biskuit tinggi gula, minuman dan makanan cepat saji juga menjadi masalah di ketiga negara tersebut.
Promosi dan iklan yang agresif mendorong masyarakat mengkonsumsi makanan rendah gizi.
Sumber: islamidia.com
Standar kehidupan yang meningkat justru membuat para orang tua yang bekerja tidak memiliki waktu, uang, dan kesadaran dalam mengurus makanan anak-anak mereka.
Dari ketiga negara tersebut, rata-rata 40 persen balita mengalami kekurangan gizi.
Berdasarkan data UNICEF, jumlah ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan secara global, yakni satu dari tiga orang.
Pakar kesehatan masyarakat di Indonesia, Hasbullah Thabrany menyatakan orang tua percaya bahwa mengisi perut anak-anak mereka adalah yang terpenting, tanpa memperhatikan asupan protein, kalsium, dan serat.
UNICEF menyebut bahwa kasus ini terjadi karena adanya masalah di masa lalu dan prediksi kemiskinan yang berpotensi terjadi di masa depan.
Sementara kekurangan zat besi dapat menghambat anak untuk belajar dan juga bisa meningkatkan risiko kematian ibu selama hamil atau setelah melahirkan.
Berdasarkan data UNICEF tahun lalu, 24,4 juta balita Indonesia, 11 juta balita Filipina, dan 2,6 juta balita Malaysia mengalami kekurangan gizi.
Pakar nutrisi Asia UNICEF, Mueni Mutunga menelusuri kembali tren keluarga yang meninggalkan makanan tradisional dan kemudian mengkonsumsi makanan modern karena dianggap lebih terjangkau dan mudah disajikan.
Meski harga mie murah, makanan ini mengandung kadar nutrisi yang rendah, serta lemak dan garam yang tinggi.
Menurut World Instant Noodles Association, Indonesia adalah konsumen mie instan terbesar kedua di dunia.
Sedangkan peringkat satu diisi oleh China dengan konsumsi 12,5 miliar mie instan pada tahun 2018.
UNICEF melaporkan, pasokan makanan dari buah-buahan, sayuran, telur, susu, ikan, dan daging yang kaya nutrisi menghilang dari pola makan ketika penduduk desa pindah ke daerah perkotaan untuk mencari pekerjaan.
Meskipun Filipina, Indonesia, dan Malaysia dianggap sebagai negara berpenghasilan menengah berdasarkan ukuran Bank Dunia, puluhan juta rakyatnya berjuang untuk menghasilkan cukup uang untuk hidup.
Ahli kesehatan Malaysia, T. Jayabalan menyebut kemiskinan adalah masalah utama.
Selain mie instan, biskuit tinggi gula, minuman dan makanan cepat saji juga menjadi masalah di ketiga negara tersebut.
Promosi dan iklan yang agresif mendorong masyarakat mengkonsumsi makanan rendah gizi.
Sumber: islamidia.com
Belum ada Komentar untuk "Mie Instan Bahayakan Pertumbuhan Jutaan Anak di Asia Tenggara"
Posting Komentar